Feeds:
Pos
Komentar

Archive for November, 2009

TEMPO Interaktif, Jakarta: Penerapan sistem tata kelola pemerintahan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia dinilai banyak disetir oleh kepentingan lembaga asing. Seperti diketahui, sistem tersebut dikenalkan pasca reformasi sejalan dengan bantuan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan UNDP. “Kita harus refleksi siapa yang diuntungkan dengan GCG ? GCG membuat kita dimandori atau menjadi penguasa dirumah sendiri,” kata politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari dalam sebuah diskusi tentang visi dan misi calon presiden dalam penerapan GCG di Intiland Tower, Selasa (09/06).

Eva menilai banyak kepentingan asing dibalik penerapan sistem tersebut. Sistem tersebut memunculkan problem serius karena mengelola negara diibaratkan seperti mengelola bisnis. Hal itu menyebabkan nilai-nilai pasar menjadi semakin kuat dalam pengelolaan negara. “Mengelola rakyat direduksi menjadi mengelola konsumen sehingga tidak ada terminologi rakyat dalam mengelola ekonomi negara. Dalam bisniskan profit yang mau diuber,” katanya.

Dengan sistem tersebut, kewajiban negara dalam bidang kesehatan dan pendidikan yang menjadi hak dasar masyarakat pun cenderung diserahkan ke pasar.

Menurutnya, GCG seharusnya hanya menjadi alat dalam mensejahterakan rakyat. Prinsip-prinsip GCG seperti akuntabilitas, profesionalisme dan lainnya harus diterapkan dalam rangka mengedepankan kepentingan rakyat bukan kepentingan asing.

Sementara itu, pengamat politik yang juga tim sukses Kalla – Wiranto, Indra Jaya Pilliang menyatakan penerapan GCG selama ini diarahkan untuk membuka sistem kita agar bisa diakses sampai ke level paling dasar. “Dengan GCG orang Amerika tahu sampai informasi di desa-desa di Indonesia,” katanya.

Menurutnya, penerapan GCG yang disetir asing menjadikan sistem tersebut mesin yang menyedot informasi di dalam negeri sampai ke level paling bawah. “Kita menjadi santapan yang enak bagi asing dan mengikuti terus menerus keinginan internasional,” katanya.

GUNANTO E S

sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2009/06/09/brk,20090609-180925,id.html

Read Full Post »

Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan (trend) meningkatnya tuntutan publik atas transparansi dan akuntabilitas perusahaan sebagai wujud implementasi good corporate governance (GCG). Salah satu implementasi GCG di perusahaan adalah penerapan corporate social responsibility (CSR). Dalam era globalisasi kesadaran akan penerapan CSR menjadi penting seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat terhadap produk (barang) yang ramah lingkungan.

CSR menurut World Business Council on Sustainable Development (WBCSD) adalah suatu komitmen dari perusahaan untuk berperilaku etis (behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development). Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal serta masyarakat luas. Harmonisasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari top management perusahaan terhadap penerapan CSR sebagai akuntabilitas publik.

Salah satu prinsip GCG adalah masalah pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Akhir-akhir ini terdapat tiga kepentingan publik yang oleh perusahaan cenderung terabaikan.

Pertama, perusahaan hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pemegang sahamnya (shareholder), sedangkan masyarakat tempat di mana perusahaan tersebut berdomisili kurang diperhatikan. Kedua, dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan semakin meningkat dan harus ditanggung oleh masyarakat sekitar. Sementara itu sebagian besar keuntungan manfaat hanya dinikmati oleh pemilik saham perusahaan saja. Ketiga, masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi korban sebagian besar mengalami kesulitan untuk menuntut ganti rugi kepada perusahaan. Itu karena belum ada hukum (regulasi) yang mengatur secara jelas tentang akuntabilitas dan kewajiban perusahaan kepada publik.

Selain tanggung jawab perusahaan kepada pemegang saham tanggung jawab lainnya menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan hidup (sustainable environtment responsibility).

Dalam era reformasi yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya keterbukaan, seharusnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya semakin meningkat. Perusahaan yang tidak memiliki kepedulian sosial dengan lingkungan sekitarnya akan banyak menemui berbagai kendala, misalnya sering didemo oleh masyarakat, bahkan ada perusahaan yang terpaksa ditutup oleh pihak yang berwenang.

Kita selama ini hanya mengenal audit keuangan (financial audit) saja, namun suatu saat nanti bisa muncul suatu audit sosial (social audit). Yang mulai berkembang saat ini adalah audit lingkungan (environtment audit). Paradigma baru perusahaan yang dianggap tumbuh & berkelanjutan (growth & sustainable company) saat ini tidak hanya diukur dari pencapaian laba (profit) saja, namun juga diukur dari kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya, baik terhadap komunitas lokal, masyarakat luas maupun lingkungan hidup.

Berkenaan dengan hal tersebut, muncul triple bottom lne model, yang terdiri dari profit, people & planet (3 P). Laporan suatu perusahaan yang menggunakan model triple bottom line, selain melaporkan aspek keuangan juga melaporkan aspek kepedulian sosial dan upaya pelestarian lingkungan hidup.

Beberapa waktu yang lalu telah diperkenalkan sustainable reporting, yaitu suatu laporan yang bersifat non-finansial yang dapat dipakai sebagai acuan oleh perusahaan untuk melihat pelaporan dari dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan. Global Reporting Initiative & Value Reporting telah mengeluarkan pedoman yang disebut Sustainable Reporting Guidelines. New York Stock Exchange di Amerika Serikat telah memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) sejak tahun 1999, yang telah memasukkan nilai corporate sustainability untuk saham-saham perusahaan dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR. Inggris melalui London Stock Exchange (LSE) memiliki Socially Responsible Investment Index (SRI Index). Hanseng Stock Exchange (HSE) dan Singapore Stock Exchange (SSE) saat ini juga mulai berinisiatif untuk mengikuti trend di atas. Adanya kecenderungan tersebut dapat mendorong para investor terutama pihak asing untuk memilih menanamkan investasinya pada perusahaan yang telah menerapkan CSR dengan baik.

Terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR, yaitu bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan (internal drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya regulasi, hukum, dan diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup(KLH) telah memberlakukan audit Proper (Program penilaian peningkatan kinerja perusahaan). Pendorong dari dalam perusahaan terutama bersumber dari perilaku manajemen dan pemilik perusahaan (stakeholders), termasuk tingkat kepedulian/tanggung jawab perusahaan untuk membangun masyarakat sekitar (community development responsibility).

Ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal). Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management).

Pada saat ini CSR dapat dianggap sebagai investasi masa depan bagi perusahaan. Minat para pemilik modal dalam menanamkan modal di perusahaan yang telah menerapkan CSR lebih besar, dibandingkan dengan yang tidak menerapkan CSR. Melalui program CSR dapat dibangun komunikasi yang efektif dan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat

Muh. Arief EffendiPenulis adalah internal auditor sebuah BUMN

sumber: http://www.kemitraan.or.id/newsroom/media-news/implementasi-good-corporate-governance-melalui-corporate-social-responsibility/

Read Full Post »

Mantan pemilik Bank Century yang diduga melakukan penggelapan dana nasabah yaitu Robert Tantular, divonis hakim penjara 4 tahun dengan denda Rp 50 miliar. Demikian disampaikan Hakim Ketua Herdi Agustan saat sidang vonis Robert Tantular di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/9).
“Robert dinyatakan secara sah melakukan tindak pidana dengan sengaja melaksanakan langkah-langkah yang tidak sesuai dengan perundang-undangan,” ujarnya.
Menurut data kepolisian, Robert Tantular membawa aset-aset Bank Century sebesar US$ 19,25 juta atau Rp 192,5 miliar ke luar negeri, dan sampai saat ini adik kandungnya Dewi Tantular juga menjadi kejaran pihak interpol di luar negeri karena kasus manipulasi dana nasabah Bank Century.
Robert: Kalau Punya Uang Rp 12 Triliun Saya Sudah di Singapura
Mantan pemilik Bank Century, Robert Tantular mengaku dirinya tak memiliki banyak uang hingga Rp 12 triliun sebagaimana diberitakan. Menurut Robert, jika dirinya memiliki uang sebanyak itu, maka dirinya pasti sudah berada di Singapura sesaat setelah Bank Century diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan.
Penegasan tersebut disampaikan Robert usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/9). Robert yang diwawancara usai vonis 4 tahun itu terlihat tenang dan tidak emosional, mukanya terlihat lesu.
Robert yang dikawal ketat para bodyguard inipun menjelaskan kronologi runtuhnya Bank Century. Menurutnya, hal itu terjadi karena pada bulan September dan Oktober 2008 timbul suatu kondisi yang menyebabkan likuiditas terpuruk sehingga diperlukan talangan dana dari pemerintah.
“Jadi memang karena krisis global dan krisis likuiditas,” tegasnya.
Mengenai surat-surat berharga (SSB) bodong, Robert menjelaskan sebenarnya sudah mulai diperbaiki. Pemegang saham asing sebagai pemegang saham pengendali sudah memberikan dana jaminan US$ 220 juta di Dresdner Bank.
“Ini sebenarnya sudah dari awal saya kemukakan di Mabes Polri, kenapa tidak diuber yang ini, malah diberitakan seakan-akan saya yang punya dana di Hong Kong sekitar Rp 12-13 triliun, padahal baru terkuak lagi bahwa ada dana US$ 1 miliar atau Rp 12 triliun itu kepunyaan Hesham Al Warraq Thalat dan Rafat Ali Rijvi. Intinya bukan punya saya,” imbuhnya lagi.
Kendati sudah memberikan penjelasan, namun Robert mengaku dirinya tetap dijadikan kambing hitam. Meski bukan menjadi pemilik dana, namun yang dinyatakan bersalah tetap Robert Tantular.
“Siapa yang punya uang di luar negeri, yang disalahkan Robert Tantular, lalu kenapa saya sendiri yang ditangkap? Kalau saya punya yang sebanyak itu di luar negeri, hari Sabtu, tanggal 22 November saya sudah di Singapura. Karena sorenya saya tahu sudah dicekal. Dan untuk apa saya kembali lagi? Karena untuk menyelesaikan masalah, dan membantu mencari investor untuk Bank Century,” paparnya.
Robert Tantular divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar. Robert dinyatakan bersalah karena tidak melunasi surat-surat berharga bodong yang nilainya US$ 203 juta. Sementara untuk 2 dakwaan lainnya yakni pencairan deposito valas nasabah Bank Century tanpa izin dan mengucurkan kredit tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, Robert dinyatakan bebas.
Robert Tantular Nilai Kasus Century Sudutkan Satu Partai
Mantan pemilik Bank Century Robert Tantular menyatakan polemik yang berkembang seputar penyelamatan Bank Century Rp 6,7 triliun saat ini, sudah berkembang ke ranah politik, dan sudah menyudutkan satu partai politik tertentu. Sayangnya Robert enggan menyebutkan partai politik yang dia maksud.
“Saya senang sekali bisa diaudit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) biar terbuka semua, ini (bailout Bank Century) sebenarnya masalah krisis keuangan tapi diarahkan sebagai masalah politik dimana menyudutkan satu partai, dan mudah-mudahan itu tidak benar semuanya,” tuturnya usai sidang vonisnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/9).
Robert juga membantah jika penyelamatan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dikarenakan usaha pemerintah untuk menyelamatkan dana-dana deposan besar Bank Century. Bahkan Robert membantah jika di Century ada dana dari Hartati Murdaya yang ‘nyangkut’.
“Tidak ada,” ujar Robert membantah adanya dana Hartati Murdaya di Bank Century. Menurutnya lebih lanjut mengenai dana-dana deposan besar lainnya, lebih baik menunggu audit BPK.
Sementara itu menjawab kontroversi penyuntikan dana oleh LPS sebesar Rp 6,7 triliun, Robert menjawab hal yang sama juga dilakukan pemerintah AS kepada perbankannya di saat krisis ekonomi.
“Di AS, Citigroup saja sampai disuntikkan dana US$ 45 miliar oleh pemerintah tapi tidak disalahkan, malah Gubernur The Fed dipilih kembali, dan di AS tahun 2009 ada 89 bank yang ditutup dan ratusan miliar dolar sudah dikeluarkan untuk injeksi,” katanya.
“Jadi bukan masalah injeksi, tapi keputusan pengambilalihan Century supaya tidak ada efek-efek berikutnya, jadi bukan ada masalah-masalah lain. Jadi tidak bertujuan menyelamatkan dana deposan besar,” tandasnya.
Penangkapan Saya Karena Intervensi JK
Mantan pemilik Bank Century Robert Tantular yang divonis hukuman penjara 4 tahun mengaku penangkapan dirinya tidak sesuai dengan koridor hukum yang jelas. Menurut Robert, penangkapan dirinya adalah atas perintah Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hal ini disampaikannya usai sidang vonisnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/9).
“Yang saudara-saudara sekalian ketahui itu perintah dari Bapak Wapres JK bukan berdasarkan hukum, jadi penangkapan itu apalagi perampok itu salah alamat karena tidak bisa dibuktikan secara jelas dan saya akan ajukan banding,” tegasnya.
Robert mengatakan dirinya secara tegas tidak menerima tuduhan perampok yang dikenakan pada dirinya. “Padahal itu jelas-jelas perbuatan pemegang saham pengendali Bank Century,” tegasnya.
Ditambahkan Robert, awalnya pada tanggal 21 November 2008, dirinya diikutsertakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk merekapitalisasi permodalan Bank Century yang terganggu saat itu. Dan diputuskan manajemen Century untuk ikut menambah modal sebanyak 20% dan Robert pun diberi waktu 35 hari sejak 21 November untuk mencari tambahan modal.
“Tapi 25 November saya ditangkap Mabes Polri, ini sudah menyalahi aturan tersebut, tidak bisa dibuktikan secara jelas dan saya akan ajukan banding,” ketusnya.
Robert mengakui dirinya semenjak Januari 2008 sudah berusaha keras mencari investor asing baru untuk menambahkan modal kepada Bank Century.
“Sejak Januari 2008 saya berusaha terus mendapatkan pemegang saham asing dari Korea dan Middle East, tapi karena krisis global September Oktober mengakibatkan likuiditas memburuk sehingga dibutuhkan talangan pemerintah,” tutupnya. (detikcom/i)

Read Full Post »

Salah satu kasus yang menyita perhatian publik Indonesia pada awal bulan April ini adalah kasus Mulyana W Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga melakukan tindakan usaha penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ditinjau dari setting teori keagenan (agency theory), ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu (1) pihak pemberi kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (2) pihak penerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal adalah KPU, dan (3) pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor, yang perannya diharapkan sebagai pihak independen, berintegritas, dan kredibel, untuk meyakinkan kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai pemberi kerja, dan KPU sebagai penerima kerja. Pemberi kerja mendelegasikan wewenang dengan ketentuan-ketentuan tertentu, dan KPU telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fakta-fakta empiris. Berdasar setting teori keagenan di atas dan mencuatnya kasus Mulyana W Kusumah, maka pertanyaan yang muncul adalah, etiskah tindakan ketiga pihak tersebut? Artikel ini mencoba menganalisa dan menyimpulkannya dalam perspektif teori etika. Etika Sebagaimana dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai. Dalam praktik hidup sehari-hari, teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatan deontological dan pendekatan teleological. Pada pendekatan deontological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana orang melakukan usaha (ikhtiar) dengan sebaik-baiknya dan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya, pada pendekatan teleological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya, dengan kurang memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang dilakukan benar atau salah. Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor), apakah auditor keuangan publik seperti kasus keuangan KPU maupun auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi. Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity), bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan profesi (due care). Dalam konteks kode etik profesi akuntan inilah, kasus Mulyana W Kusumah bisa dianalisis, apakah tindakan mereka (ketiga pihak), melanggar etika atau tidak. Tindakan Auditor BPK Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan ‘mulia’, yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU. Tujuan yang benar, etis, dan moralis, yakni untuk mengungkapkan kemungkinan adanya kerugian yang diterima oleh pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK, harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan pada etika profesi.
Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi. Dari sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan. Berdasar pada prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan profesinya. Apa yang harus dilakukan auditor BPK adalah bahwa dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan. Etiskah Tindakan KPU? Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga tidak moralis. Secara alami (natural) dan normatif, pihak penerima kerja (agen) akan dengan senang hati untuk diaudit (diperiksa) untuk meyakinkan pada pihak pemberi kerja (principal), dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah uang dalam pertemuannya dengan auditor BPK, maka ada indikasi kuat KPU telah bertindak tidak etis, tidak benar, dan tidak moralis yang ujungnya adalah dugaan korupsi. KPU tampaknya tidak paham bagaimana menempatkan diri sebagai penerima dan yang menjalankan amanah. Mengapa tindakan KPU dalam menjalankan amanah pemberi kerja harus diaudit, tampaknya tidak dipahami oleh yang bersangkutan. Ada kesan bahwa audit adalah proses yang hampir pasti mencari (sering dipapahami mencari-cari) dan menemukan sejumlah kesalahan, kecurangan, ataupun tindakan korupsi yang bisa diatur dan ditentukan semaunya oleh auditor. Kalau di KPU pengelolaan sejumlah dana telah dilakukan dengan benar, akuntabel, transparan, dan bertanggungjawab, maka tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan sehingga muncul inisiatif untuk menggunakan sejumlah uang dalam rangka mencapai ‘aman’ pada proses pemeriksaan. Ataukah memang telah terjadi kecurangan, kebohongan, dan korupsi, sehingga KPU harus menggunakan sejumlah uang untuk main mata dengan pihak auditor BPK? Memang santer didengar oleh masyarakat bahwa semua proses pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh BPK, BPKP, Irjen, Bawasda, maupun pihak lain-lain, sering menggunakan sejumlah uang untuk mencapai rasa ‘aman’ atas tindakan pengelolaan uang. Tindakan Pemberi Kerja Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK.
Atas kasus Mulyana W Kusumah, etiskah tindakan pihak pemberi kerja, pemerintah Indonesia, DPR dan KPK? Secara teoritis-normatif, ketika pemberi kerja mempercayakan pengelolaan sejumlah aset atau dana kepada pihak kedua, maka pihak pemberi kerja seharusnya juga menyampaikan paket sistem informasi guna memonitor dan mengendalikan tindakan penerima kerja secara rutin. Tidakkah pemberi kerja paham akan adanya information assymetri?, yaitu penerima kerja mempunyai informasi yang jauh lebih lengkap, baik kualitas maupun jumlahnya dalam mengelola aset atau dana yang berasal dari pemberi kerja? Dalam situasi seperti ini, maka pihak ketiga (auditor) harus disewa untuk meyakinkan bahwa pihak penerima kerja telah menjalankan tanggungjawabnya dengan benar, transparan, dan akuntabel. Secara periodik, pihak pemberi kerja seharusnya minta informasi, baik dari penerima kerja maupun dari pihak auditor. Dari uraian ini, kita bisa jawab bahwa baik pemerintah (diwakili Menteri Keuangan) dan DPR tidak menjalankan fungsinya sebagai pemberi kerja. Sekilas tindakan ini mengesankan tindakan yang tidak etis.
Andaikan proses pemberian kerja yang diikuti dengan aliran uang ke KPU kemudian ada aliran uang keluar dari KPU (belanja) dimonitor dengan benar, transparan dan akuntabel, tindakan kecurangan, termasuk kemungkinan korupsi yang bisa jadi dilakukan penerima kerja (KPU), bisa dicegah dengan optimal. Butuh Waktu Belajar dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi. Mengapa demikian, sebab untuk menjadi pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Seandainya saja, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dan DPR sebagai pemberi kerja dan penyalur dana mempunyai kemampuan teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan. Seandainya saja penerima kerja sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa dana yang diterima atau disalurkan pemerintah merupakan dana dari rakyat dan karenanya harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan benar, transparan dan akuntabel, maka satu poin lagi korupsi bisa dikurangi secara sistematis. Adaikan saja, auditor di seluruh Indonesia, termasuk dari BPK sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memegang amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi di negeri ini. (Dr Muchamad Syafruddin MSi Akt, dosen FE Undip) Tulisan ini diambil dari Suara Merdeka, 27 April 2005

Sumber: http://antikorupsi.org/indo/content/view/4667/6/

Read Full Post »